top of page

Vol.7 | Menilik Pajak dalam Perekonomian Digital, Perlukah Pemerintah Berbenah?

Adell Novrentya Abdi, Erlin Yuanita Firdaus, Kinta Hannah Ranggani, Muhammad Rastra Dwika Jourdan Sitompul, Nursyiffa Azzahra Yuliandra, Priyazka Rakharya Firman

14 Oktober 2021

0

Perkembangan teknologi yang sangat pesat diyakini memberikan banyak pengaruh terhadap efektivitas, efisiensi, dan produktivitas manusia. Adanya transisi antara aktivitas kegiatan yang pada awalnya dilakukan secara konvensional hingga kini merambah ke teknologi digital, membuat pemerintah semakin giat untuk membuat kebijakan yang mempu menopang stabilitas negara di berbagai sektor, termasuk ekonomi. Pada sektor ekonomi sendiri, upaya pemerintah dapat dilihat dari pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan demi membantu mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini pun tengah menggeliat. Kemunculan berbagai perusahan rintisan (start up) dan pesatnya pertumbuhan UMKM di Indonesia menjadi cerminan hal tersebut. Dalam laporannya, Oxford Economics (2016) juga menyebutkan bahwa keberadaan teknologi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB dan jumlah lapangan kerja di Indonesia.


Urgensi Pembenahan Sistem Perpajakan dalam Era Transformasi Ekonomi Digital

Ekonomi digital yang digambarkan sebagai salah satu wujud nyata dari proses transformatif teknologi, diyakini pula sebagai suatu komponen yang apabila dikelola dengan baik, akan memberikan keuntungan, tidak hanya bagi pelaku utama dalam suatu bentuk implementasi perekonomian digital, tetapi juga sangat mungkin untuk menjadi suatu hal yang sama menguntungkannya bagi perekonomian negara. Berbicara mengenai perekonomian digital dan perannya bagi negara, tentu tidak lepas dari peran pajak di dalamnya. Kontribusi pajak dalam pendapatan negara sangatlah besar sehingga penerapannya di era ekonomi digital akan sangat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara (Az’mi, 2018).

Tidak sedikit orang yang beralih ke platform digital untuk menunjang aktivitas dan kebutuhannya, seperti melakukan transaksi jual-beli atau sejenisnya. Perusahaan-perusahaan yang termasuk ke dalam kategori perusahaan tetap (Badan Usaha Tetap) yang memiliki platform digital ini nantinya akan dikenakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai dari laba yang dihasilkan melalui transaksi digital. Badan Usaha Tetap merupakan konsep pajak internasional di mana sebuah usaha memiliki tempat usaha tetap di negara lain sehingga usaha tersebut dikenakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai di negara lain tersebut.

Hal inilah yang dimanfaatkan Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di era digital melalui penarikan pajak dari adanya platform digital multinasional maupun platform digital lokal yang memiliki kantor di negara lain, tetapi menyediakan barang dan jasa serta layanan operasi di Indonesia. Sebab, jika dilihat dari data Kemenkeu tentang potensi penerimaan pajak melalui sistem elektronik (PMSE), Indonesia sebagai salah satu negara yang “menampung” pengoperasian platform-platform digital milik negara lain, akan sangat diuntungkan dari adanya penarikan pajak atas laba yang dihasilkan oleh platform tersebut. Berikut merupakan data Kemenkeu mengenai penerimaan pajak melalui sistem elektronik (PMSE):

  1. Sistem perangkat lunak aplikasi dengan nilai transaksi mencapai 14,06 triliun Rupiah,

  2. Game, video, musik mencapai 880 miliar Rupiah,

  3. Penjualan film sebesar 7,65 triliun Rupiah,

  4. Perangkat lunak telepon genggam sebesar 44,7 triliun Rupiah,

  5. Perangkat lunak khusus seperti untuk perangkat mesin desain mencapai 1,77 triliun Rupiah,

  6. Hak siaran atau layanan TV berlangganan senilai 16,49 triliun Rupiah, dan

  7. Penerimaan dari media sosial dan layanan over the top (OTT) sebanyak 17,07 triliun Rupiah.

Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang yang di dalamnya mengatur bahwa setiap nilai transaksi digital yang melebihi 600 juta Rupiah per tahun atau 50 juta Rupiah per bulan dan atau memiliki jumlah traffic lebih dari 12.000 per tahun atau 1000 per bulan pada platform over the top (OTT) akan dikenakan pajak. Nilai pengenaan pajak tersebut sebesar 10 persen dan diberlakukan per 1 Juli 2020, sebagaimana diatur dalam Permenkeu №48 Tahun 2020.

Pada dasarnya, pembaruan akan teknologi dan sistem yang digunakan dalam perpajakan di era sekarang ini telah menjadi suatu hal yang terus-menerus diperhatikan oleh pemerintah, terutama pihak-pihak yang terlibat seperti Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak. Bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila pajak menjadi fokus perhatian pemerintah, terutama di era digital seperti sekarang ini. Dengan nilai kontribusi terhadap negara sebesar 65 persen, pemerintah pasti sadar betul akan pentingnya pembenahan dalam sistem perpajakan yang ada (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021).

Pembenahan akan sistem perpajakan pun sebenarnya bukan suatu hal yang baru di era digital ini dan beruntungnya, pembenahan yang secara kontinu dilakukan tersebut terus-menerus membuahkan hasil yang nyata. Pembenahan-pembenahan yang telah dilakukan pemerintah berhasil meningkatkan tingkat partisipasi warga negara untuk membayar pajak dari waktu ke waktu, hal ini dapat dilihat dari bertambahnya Wajib Pajak (WP) terdaftar, dari 2,59 juta orang di tahun 2002, dan sekarang telah mendekati 50 juta Wajib Pajak banyaknya (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021). Data tersebut hanyalah satu dari sekian banyak output dari pembenahan yang telah dilakukan pemerintah terhadap perpajakan negara dari tahun 1983 hingga saat ini.

Meskipun begitu, tetap ada beberapa hal yang masih menjadi “PR” bagi pemerintah. Center For Indonesian Policy Studies (CIPS) menerangkan pemerintah Indonesia masih harus memperbaiki beberapa hal untuk mengatasi permasalahan pajak digital, seperti dalam menentukan proporsi laba bisnis di Indonesia dan pembagian hak pengenaan pajak dengan pihak berwenang di luar negeri dimana perusahaan tersebut berasal, Indonesia juga dinilai masih harus memperhatikan sistem dan pelaksanaan pajak yang efektif termasuk kepatuhan untuk mendaftar, melaporkan dan membayar PPN. Hal ini sangat masuk akal mengingat pemungutan PPN memang cukup sulit untuk dilakukan dengan hadirnya perekonomian digital.


Kesimpulan

Akan menjadi suatu hal yang cukup menantang bagi pemerintah untuk dapat mengidentifikasi perusahaan, melacak “jejak kertas”, menentukan jumlah pajaknya, dan mengatasi peningkatan kemampuan suatu perusahaan pada perdagangan lintas batas dengan barang atau jasa yang “tidak berwujud” dalam menyembunyikan pendapatan serta aset yang mereka miliki di luar negeri (Hadzhieva, 2016). Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak sebagai penghimpun penerimaan pajak gencar melakukan transformasi digital berupa modernisasi teknologi informasi perpajakan guna peningkatan kualitas pelayanan pajak. Modernisasi teknologi ini juga dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan tax ratio, penghindaran dan penggelapan pajak, serta mendorong kepatuhan wajib pajak. Sebagai alternatif pembenahan, Indonesia juga dapat belajar dari penerapan peraturan perpajakan yang dimiliki negara lain, seperti penerapan Equalization Levy Rules (EQL) di India yang dikategorikan sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan Diverted Profit Tax (DPT) yang diterapkan di Britania Raya (Az’mi, 2018). Meskipun sebenarnya Indonesia telah merilis Surat Edaran (SE) yang mengatur Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce yaitu SE/62/PJ/2013, tetapi bukanlah suatu hal yang buruk untuk tetap membenahi diri dan mempertegas aturan perpajakan negara dengan belajar dari pihak luar yang relevan dengan isu ini sendiri.


Referensi

Az’mi, Y. U. (2018). PERPAJAKAN DI ERA EKONOMI DIGITAL: INDONESIA,

INDIA DAN INGGRIS. JIAFE (Jurnal Ilmiah Akuntansi Fakultas Ekonomi), 215–230.

Hadzhieva, E. (2016). Tax Challenges in The Digital Economy. Diambil kembali dari European Parliament: http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2016/579002/IPOL_STU (2016)579002_EN.pdf

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021, Juli 2). Berbenah Perkuat Penerimaan. Majalah Media Keuangan Vol. XIV №172. Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Wawan Setiawan. (2017). Era Digital dan Tantangannya. Retrieved September 9, 2021, from https://core.ac.uk/download/pdf/87779963.pdf

Novitasari, L. (2019, Agustus 09). Modernisasi Teknologi Informasi Perpajakan di Era Ekonomi Digital. Retrieved September 10, 2021, from djp: https://www.pajak.go.id/id/artikel/modernisasi-teknologi-informasi-perpajakan- di-era-ekonomi-digital

Rebecca, A. G. (2021, Mei 04). Ringkasan Kebijakan | Pajak Digital di Indonesia. Retrieved September 10, 2021, from CIPS: https://id.cips- indonesia.org/post/ringkasan-kebijakan-pajak-digital-di-indonesia

Setiawan, S. R. (2020, April 03). Potensi Penerimaan Pajak Digital Bisa Sampai Rp 10,4 Triliun. Retrieved September 10, 2021, from kompas.com: https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/money/read/2020/04/03/0512 00826/potensi-penerimaan-pajak-digital-bisa-sampai-rp-10-4-triliun


Full PDF version can be accessed here

bottom of page