top of page

Vol.5 | Menggagas Electronic Tax Conciliation Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pajak

Abrar Bilisanimar, Ellicia Emerliawati, dan Safina Aulia Sulistianingtiyas

30 Juli 2021

0

Sistem self assessment yang diterapkan di Indonesia membuat Wajib Pajak harus memenuhi kewajiban pajaknya secara mandiri mulai dari mendaftar, menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak terutangnya. Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas akan memeriksa dan mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak tersebut. Konsekuensi yang muncul atas penerapan sistem ini adalah perbedaan penafsiran peraturan pajak antara Fiskus dan Wajib Pajak. Perbedaan pendapat tersebut selanjutnya menimbulkan sengketa pajak.

Jumlah berkas sengketa yang masuk ke pengadi lan pajak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, peningkatan tersebut tidak sebanding dengan kapasitas pengadilan pajak (DDTC, 2020). Kesenjangan ini dapat menimbulkan tunggakan perkara dan ketidakpastian lama waktu penyelesaian sengketa.

Proses penyelesaian sengketa pajak di Indonesia dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP). Proses penyelesaian sengketa pajak dimulai dari keberatan di Direktorat Jenderal Pajak, lalu banding di Pengadilan Pajak, dan dapat berlanjut hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa pajak hanya melalui jalur litigasi/pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi tidak efisien dari segi biaya karena menimbulkan compliance cost maupun administrative cost yang tinggi. Saat mengajukan banding saja, Wajib Pajak harus melunasi 50% utang pajaknya. Hal ini tentu memberatkan Wajib Pajak, terutama mereka yang mengalami kesulitan finansial. Wajib Pajak yang berdomisili di luar ibu kota pun menghabiskan biaya transportasi dan akomodasi yang lebih tinggi karena keberadaan Pengadilan Pajak yang hanya ada di Ibukota. Setelah hasil putusan keluar, Wajib Pajak harus menanggung denda yang sangat tinggi. Di sisi lain, Fiskus juga harus menanggung administrative cost yang cukup tinggi akibat bunga yang timbul karena putusan tersebut. Tak hanya biaya yang terukur, penyelesaian melalui litigasi membutuhkan waktu yang lama yakni 12–15 bulan. Namun, keadaan di lapangan menunjukkan bahwa banyak kasus yang putusannya belum dibacakan melebihi waktu tersebut bahkan hingga tiga tahun (Al Khoiry dan Rahayu, 2020; Hidayah dkk., 2018). Kekurangan lainnya dari litigasi antara lain hubungan antar pihak yang saling bermusuhan, hasil yang hanya menguntungkan satu pihak, komunikasi yang buntu, hingga suasana emosi yang bergejolak (Triana, 2019).

Beberapa negara mulai memberlakukan penyelesaian sengketa pajak selain pengadilan yang dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). Salah satu negara yang menerapkan ADR pada sengketa perpajakan adalah Australia. Jika terdapat sengketa setelah keberatan di tingkat Fiskus, maka Wajib Pajak dapat melakukan upaya ADR berupa konsiliasi, mediasi, atau konferensi sebelum melakukan upaya hukum ke pengadilan. Adanya upaya ADR sebelum masuk ke tahap pengadilan efektif menyelesaikan sengketa perpajakan hingga 70%. Proses ADR mampu mengurangi kompleksitas permasalahan yang disengketakan dengan mengklarifikasi fakta-fakta sehingga dapat mengurangi upaya litigasi dan biaya yang dikeluarkan. Wajib Pajak juga menganggap proses yang dilakukan adil dan membantu mengakhiri sengketa lebih cepat (Sourdin, 2015).

Penggunaan teknologi juga dimanfaatkan untuk membantu penyelesaian sengketa hukum. Salah satu proyek yang dikembangkan adalah Blue J Legal Project. Proyek tersebut dibuat dan dikembangkan dengan teknologi machine learning untuk memprediksi hasil putusan pada berbagai area abu-abu dalam hukum pajak seperti hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, subjek pajak, expenditure/pengeluaran, surat berharga, manfaat kena pajak, dan sebagainya. Berdasarkan pengujian, Blue J Legal Project dapat memberikan prediksi hasil putusan berdasarkan kasus terdahulu dengan lebih akurat dan cepat. Keunggulan tersebut dapat membantu profesi hukum seperti pengacara dalam melakukan pekerjaannya (Alarie dkk., 2016).

Melihat efektivitas ADR yang tinggi dalam menyelesaikan sengketa perpajakan, penulis menggagas skema electronic tax conciliation sebagai upaya alternatif dalam penyelesaian sengketa perpajakan. Seluruh prosedur konsiliasi nantinya akan dilaksanakan secara daring. Bagi Wajib Pajak yang tidak puas atas keputusan keberatan di tingkat Fiskus dapat mengajukan upaya electronic tax conciliation kepada Komisi Pengawas Perpajakan (Komwasjak). Komwasjak berpotensi menjadi lembaga konsiliator dalam electronic tax conciliation, hal ini didasarkan atas salah satu fungsi dan wewenangnya yakni menangani pengaduan, masukan, dan mediasi masyarakat. Konsiliator memiliki tugas antara lain menjelaskan keuntungan dan kerugian yang dimiliki pihak-pihak dalam kasus sengketa, memberikan pendapat mengenai sengketa, memberikan nasihat mengenai implikasi hukum dan konsekuensi lainnya, serta memberikan opsi penyelesaian. Selanjutnya, hasil kesepakatan antara kedua belah pihak akan dijadikan keputusan hukum yang mengikat. Prosedur electronic tax conciliation terdiri dari:

1. Pengajuan konsiliasi secara daring

Wajib pajak akan melakukan persyaratan administratif secara daring dan elektronik

2. Pelaksanaan konsiliasi

  1. Pertemuan akan dibuka oleh Konsiliator

  2. Masing-masing pihak yang bersengketa akan memaparkan argumennya masing-masing mengenai sengketa yang terjadi

  3. Diskusi antara Konsiliator, Fiskus, dan Wajib Pajak mengenai sengketa dengan bantuan smart conciliation assisstant.

  4. Terbentuknya hasil musyawarah antar pihak yang bersengketa

3. Penetapan hasil musyawarah sebagai keputusan hukum yang mengikat

Fitur utama dari gagasan ini adalah penggunaan smart conciliation assistant berbasis data analytics yang mengolah basis data putusan sengketa pajak yang terdiri atas putusan sengketa pajak terdahulu. Informasi dari hasil analisis data tersebut akan digunakan untuk memberikan saran kepada pihak-pihak yang bersengketa. Teknologi data analytics digunakan sebagai tool dalam memberikan saran untuk kedua belah pihak karena analisis yang dihasilkan lebih akurat. Selain itu, teknologi ini dapat memberikan prediksi yang cepat, menguntungkan kedua belah pihak, dan sesuai kebutuhan (Alarie dkk., 2016). Hal ini akan membantu mengarahkan Wajib Pajak dan Fiskus menjadi lebih kolaboratif dan kompromis sehingga mencapai kesepakatan bersama.

Penyelesaian sengketa melalui electronic tax conciliation ini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, waktu penyelesaian sengketa berkisar 60 hari (Hidayah, 2018). Waktu tersebut jauh lebih cepat dibanding litigasi. Kedua, biaya yang dikeluarkan lebih rendah (Hidayah, 2018). Terdapat komponen biaya yang dapat ditekan oleh Wajib Pajak maupun Fiskus seperti biaya transportasi dan akomodasi karena pelaksanaannya secara daring. Ketiga, fokus penyelesaian ke arah masa depan, negosiasi yang kompromis, hasil yang memuaskan kedua belah pihak, hingga suasana yang bebas emosi (Triana, 2019). Hal tersebut dapat menunjang terbentuknya hubungan yang lebih kolaboratif antara Wajib Pajak dan Fiskus.


Referensi

Alarie, B., Niblett, A. dan Yoon, A.H. 2016. Using machine learning to predict outcomes in tax law. Canadian Business Law journal, 58 (3), hal.231. HeinOnline.

DDTC. 2020. Tren Sengketa Meningkat, Lampaui Kapasitas Pengadilan Pajak. [Daring]. Available from: https://news.ddtc.co.id/tren-sengketa-meningkat-lampaui-kapasitas-pengadilan-pajak-23979?page_y=1351 [Diakses 22 Januari 2021].

Hidayah, K. 2018. Indonesian Tax Dispute Resolution in Cooperative Paradigm Compared to United Kingdom and Australia. In: International Conference on Industrial Technology for Sustainable Development. Makassar: IOP Publishing.hal.12203.

Hidayah, K., Suhariningsih, Istislam dan Permadi, I. 2018. Mediation for Indonesian Tax Disputes: Is It a Potential Alternative Strategy for Resolving Indonesian Tax Disputes. Indonesia Law Review, 8 (2), hal.154–167. HeinOnline.

Al Khoiry, L.H. dan Rahayu, N. 2020. Analisis Sidang Sengketa Pajak oleh Pengadilan Pajak yang Dilaksanakan Diluar Daerah Jakarta Ditinjau dari Azas Ease of Administration. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 6 (2), hal.288–296.

Sekretariat Pengadilan Pajak Kementerian Keuangan. 2021. Jumlah Berkas Sengketa Tahun 2014–2020. [Daring]. Available from: http://www.setpp.kemenkeu.go.id/statistik [Diakses 13 Maret 2021].

Sourdin, T. 2015. Evaluating Alternative Dispute Resolution (ADR) in Disputes About Taxation. The Arbitrator & Mediator, 34 (1), hal.19–31.

Triana, N. 2019. ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION. Yogyakarta: Hikam Media Utama.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002. Pengadilan Pajak. 12 April 2002. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 17 Juli 2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85. Jakarta.


Full PDF can be accessed here

bottom of page