Vol.2 | Kebijakan Relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 21 Dalam Mengantisipasi Dampak Covid-19 Industri Pengolahan
Rizky Muhammad Fauzan Hilmi
21 Mei 2020
0
Coronavirus Disaese-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona yang baru ditemukan.Virus Corona telah banyak memakan korban jiwa di berbagai belahan dunia. Sehingga World Health Organization (WHO) resmi menyatakan bahwa COVID-19 merupakan pandemi. Pandemi itu sendiri merupakan suatu wabah penyakit global. Menurut WHO pandemi dinyatakan ketika penyakit baru menyebar di dunia melampaui batas yang ada. COVID-19 telah membawa dampak buruk dari berbagai aspek kehidupan bagi negara di dunia. Salah satu negara yang terkena dampak dari COVID-19 ialah Indonesia. Sampai saat ini, terdapat 686 orang di Indonesia positif terkena virus corona dan 55 orang telah meninggal dunia.
Selain itu, COVID-19 juga telah berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu sektor yang terdampak ialah sektor manufaktur. Menurut Sandiaga Uno, virus corona membuat daya beli masyarakat Indonesia menurun seiring telah terjadinya efisiensi pada industri manufaktur. Hal ini terjadi, karena sebagian besar Industri manufaktur di Indonesia menggunakan bahan baku yang berasal dari China dalam proses produksi. Dengan adanya COVID-19 membuat produsen di China tidak beroperasi dan terdapat pembatasan penerbangan antar negara sehingga produk bahan baku yang diimpor menjadi tergangu. Hal ini, menyebabkan pasokan bahan baku industri manfaktur di Indonesia mulai menipis. Menurut Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengatakan apabila kondisi perekonomian Indonesia akan terus seperti ini, kemungkinan perekonomian akan tertekan pada angka 0 hingga 2,5%.
Dalam kondisi perekonomian yang seperti ini, pemerintah telah merancang dan akan segera memberlakukan kebijakan ekonomi yaitu Stimulus Fiskal jilid II yang akan berlaku mulai 1 April 2020. Pada stimulus fiskal jilid II pemerintah lebih fokus untuk stabilisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui industri manufaktur. Terdapat empat stimulus yang terdiri atas relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 21 untuk industri manufaktur, relaksasi PPh Pasal 22 terkait impor, PPh pasal 25, serta percepatan restitusi PPN. Menurut Sri Mulyani, relaksasi PPh karyawan berupa PPh 21 untuk sektor industri manufaktur yang ditanggung oleh pemerintah (DTP) diberikan dengan alasan bahwa sektor ini paling terdampak oleh virus corona. Selain itu, juga untuk menjaga daya beli masyarakat yang sebagian besar merupakan pekerja. Oleh karena itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa relaksasi PPh 21 hanya berlaku dengan tenggang waktu 6 bulan dari bulan April hingga September 2020. Kebijakan relaksasi PPh 21 diberikan kepada pekerja dengan gaji maksimal sebesar 200 juta rupiah per tahun di sektor industri manufaktur baik yang berlokasi di KITE (Kawasan Industri Tujuan Ekspor) maupun non KITE.. Dari kebijakan relaksasi PPh 21 terdapat beberapa pihak yang terdampak. Untuk itu, penulis dalam tulisan ini akan fokus membahas dampak dari Kebijakan Relaksasi PPh 21 industri manufaktur bagi pemerintah, pihak pemotong PPh 21, maupun wajib pajak orang pribadi sebagai upaya mengatasi dampak ekonomi COVID-19.
Kaitan antara Relaksasi PPh Pasal 21 dengan fungsi pajak dan sistem pemungutan pajak withholding tax
Relaksasi Pajak Penghasilan pasal 21 untuk pekerja industri manufaktur merupakan salah satu paket stimulus fiskal 2020 dalam upaya mengatasi dampak virus corona. Apabila dikaitkan dengan fungsi pajak, maka Relaksasi PPh Pasal 21 merupakan pajak sebagai fungsi regulerend. Seperti yang diketahui adanya Relaksasi PPh Pasal 21 untuk industri manufaktur dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur daya beli masyarakat khususnya pekerja industri manufaktur. Karena salah satu sektor yang paling berdampak oleh virus corona ialah industri manufaktur. Beberapa industri manufaktur di Indonesia telah melakukan efisiensi karena mulai menipisnya bahan baku akibat pembatasan penerbangan antar negara sejalan dengan penyebaran virus corona. Dengan ini, instrumen pajak dalam hal Relaksasi PPh Pasal 21 digunakan untuk mengatur perekonomian Indonesia dengan harapan kebijakan ini mampu untuk meningkatkan daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil.
Dalam melakukan pemungutan pajak, terdapat asas-asas pemungutan pajak. Menurut Mansury (1996;p.162) terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu revenue productivity, equity, dan certainty. Dengan adanya relaksasi PPh Pasal 21 berpengaruh terhadap asas pemungutan pajak. Pertama, kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 jika dilihat dari asas revenue productivity sangat berlawanan, dengan ini maka pendapatan yang diterima negara yang berasal dari PPh Pasal 21 bagi pekerja industri manufaktur yang berpenghasilan kurang dari 200 juta rupiah per tahun akan ditanggung oleh pemerintah. Hal ini, membuat pendapatan negara berkurang dan pengeluaran negara bertambah. Namun, jika dilihat dari asas keadilan kebijakan ini sekiranya dapat dikatakan adil karena untuk pekerja dengan penghasilan dibawah 16 juta rupiah per bulan akan mendapatkan take home pay yang lebih. Dimana target dari kebijakan ini adalah masyarakat menengah sehingga dapat dikatakan adil. Karena dengan take home pay yang lebih tinggi diharapkan fungsi regulerend Relaksasi PPh Pasal 21 dapat tercapai guna terciptanya peningkatan daya beli masyarakat Indonesia. Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil dan terjaga.
Jika dilihat dari asas certainty, menurut saya kepastian dari kebijakan Relaksasi PPh Pasal 21 atas industri manufaktur sudah cukup jelas. Dalam kebijakan ini, sudah terdapat subjek dan objek yang akan dituju. Dalam hal ini, yang menjadi subjek yang dituju dari kebijakan ini ialah pekerja pada industri manufaktur. Serta objek dari kebijakan ini adalah pekerja industri manufaktur dengan penghasilan kurang dari 200 juta rupiah dalam setahun. Sehingga kepastian dari kebijakan ini ialah untuk mempertahkan kestabilan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, relaksasi PPh Pasal 21 juga berkaitan dengan sistem perpajakan withholding system. Kewajiban pemotongan pada perusahaan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai realisasi dari asas ease of administration dengan indikatornya asas efficiency, terkait jumlah fiskus yang sedikit tidak sebanding dengan wajib pajak yang ada sehingga terdapat pihak ketiga sebagai pemotong yaitu perusahan. Dengan adanya relaksasi PPh 21 maka beban perusahan industri manufaktur atas beban PPh Pasal 21dapat digantikan dengan pengeluaran oeprasional lainnya dalam rangka produksi.
Dampak Kebijakan Relaksasi PPh Pasal 21 industri manufaktur bagi pemerintah, pihak pemotong PPh 21, maupun wajib pajak orang pribadi
Kebijakan Relaksasi PPh Pasal 21 Industri manufaktur sangat berdampak terhdap beberapa pihak. Pihak-pihak yang terdampak langsung antara lain pemerintah, pihak pemotong PPh 21, maupun wajib pajak. Dalam hal ini, penulis menganalisis dampak melalui perhitungan PPh Pasal 21 bagi pekerja industri manufaktur dengan rata-rata penghasilan sebesar 16 juta rupiah. Karena dalam kebijakan relaksasi PPh Pasal 21, diperuntukkan bagi pekerja dengan penghasilan maksimal 200 juta rupiah per tahun. Berikut hasil analisis penulis:
Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa apabila suatu perusahaan menggunakan metode netto, gross up dalam perhitungan PPh Pasal 21. Dengan adanya kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 tidak terlalu berdampak bagi pihak yang dilakukan pemotongan PPh 21, karena dengan metode ini PPh Pasal 21 ditunjang oleh perusahaan. Sehingga tidak terdapat selisih take home pay bagi pekerja yang bekerja di industri manufaktur yang menerapkan metode perhitungan PPh Pasal 21 yang artinya tidak terlalu berdampak terhadap daya beli dari pekerja industri manufaktur. Namun, dari sisi perusahaan manufaktur sebagai pihak pemotong PPh Pasal 21 sebelum adanya kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 mengalami tekanan pada arus kas perusahaan tersebut, setelah adanya relaksasi PPh Pasal 21 pihak pemotong yakni Industri Manufaktur mendapatkan arus kas yang lebih lancar karena terjadi penanggungan beban PPh Pasal 21 oleh pemerintah sehingga beban perusahaan berkurang cukup signifikan dari adanya Relaksasi PPh Pasal 21. Sehingga industri manufaktur dapat melakukan produksi lebih lancar apalagi ditambah dengan melonggarnya kebijakan impor yang merupakan asal bahan baku bagi industri manufaktur sehingga terjadi peningkatan daya beli masyarakat. Dan perekonomian dalam hal ini pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Bagi pemerintah Kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah menambah defisit anggaran 2020 hingga sekitar 2,5% dari PDB atau sekitar 86 triliun. Namun, tujuan utama pemerintah membuat kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 adalah untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan peningkatan daya beli masyarakat sehingga kondisi perekonomian Indonesia akan baik dan pertumbuhan ekonomi tetap lancar.
Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa apabila suatu perusahaan menggunakan metode netto, tidak gross up dalam perhitungan PPh Pasal 21. Dampak yang ditimbulkan hampir sama dengan metode netto, gross up Dimana kebijakan ini, tidak terlalu berdampak bagi pihak yang dilakukan pemotongan PPh 21, karena dengan metode ini PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan. Sehingga tidak terdapat selisih take home pay bagi pekerja yang bekerja di industri manufaktur yang menerapkan metode perhitungan PPh Pasal 21 yang artinya tidak terlalu berdampak terhadap daya beli dari pekerja industri manufaktur. Perbedaannya bagi perusahaan lebih sedikit biaya yang ditanggung pemerintah dibanding metode netto, gross up. Namun, industri manufaktur masih dapat menggunakan biaya tersebut untuk biaya lainnya yang lebih penting sehingga produksi tetap berjalan. Bagi pemerintah Kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah menambah defisit anggaran 2020 hingga sekitar 2,5% dari PDB atau sekitar 86 triliun. Namun, tujuan utama pemerintah membuat kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 adalah untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan peningkatan daya beli masyarakat sehingga kondisi perekonomian Indonesia akan baik dan pertumbuhan ekonomi tetap lancar.
Berdasarkan gambar diatas, apabila perusahaan meunggunakan metode gross, tidak gross up dalam melakukan pemotongan PPh Pasal 21 bagi pekerja industri manufaktur. Maka kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 cukup berdampak terhadap pekerja industri manufaktur. Karena take home pay pekerja mengalami perubahan, dimana setelah adanya kebijakan tersebut take home pay yang dibawa oleh pekerja lebih besar. Sehingga PPh 21 yang biasanya telah dipotong oleh perusahaan dapat digunakan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya. Dampak bagi perusahaan tidak terlalu signifikan, namun akan berpengaruh terhadap cashflow perusahaan. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan lain yang dibutuhkan dalam produksi. Bagi pemerintah tetap mengalami defisit anggaran 2020 hingga sekitar 2,5% dari PDB atau sekitar 86 triliun. Namun kemungkinan peningkatan daya beli masyarakat khususnya pekerja industri manufaktur dapat terjadi karena take home pay pekerja bertambah. Sehingga pertumbuhan ekonomi tetap stabil dan kondisi perekonomian Indonesia tetap terjaga.
Kesimpulan
COVID-19 yang merupakan penyakit yang berasal dari virus corona telah dinyatakan pandemi oleh World Health Organization (WHO). COVID-19 telah membawa dampak buruk dari berbagai aspek kehidupan bagi negara di dunia. Salah satu negara yang terkena dampak dari COVID-19 ialah Indonesia. COVID-19 juga telah berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu sektor yang terdampak ialah sektor industri manufaktur. Dalam kondisi perekonomian yang seperti ini, pemerintah telah merancang dan akan segera memberlakukan kebijakan ekonomi yaitu Stimulus Fiskal jilid II yang akan berlaku mulai 1 April 2020. Pada stimulus fiskal jilid II pemerintah lebih fokus untuk stabilisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui industri manufaktur. Salah satunya ialah relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 21 untuk industri manufaktur. Kebijakan tersebut apabila dikaitkan dengan fungsi pajak, maka Relaksasi PPh Pasal 21 merupakan pajak sebagai fungsi regulerend. Dimana tujuan awal dari kebijakan tersebut ialah untuk mengatur perekonomian Indonesia dengan meningkatkan daya beli masyarakat khususnya pekerja industri manufaktur. Kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 ditujukan terhadap pekerja dengan gaji maksimal sebesar 200 juta rupiah per tahun di sektor industri manufaktur baik yang berlokasi di KITE (Kawasan Industri Tujuan Ekspor) maupun non KITE. Kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 berdampak terhadap beberapa pihak, antara lain : pihak yang dipotong PPh Pasal 21, pihak pemotong PPh Pasal 21, dan pemerintah. Dampak yang ditimbulkan berbeda antara pihak satu dengan pihak lainnya sesuai dengan metode perhitungan dalam pemotongan PPh Pasal 2. Secara keseluruhan kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 cukup berdampak terhadap pekerja industri manufaktur. Karena take home pay pekerja mengalami perubahan, dimana setelah adanya kebijakan tersebut take home pay yang dibawa oleh pekerja lebih besar. Sehingga PPh 21 yang biasanya telah dipotong oleh perusahaan dapat digunakan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya. Untuk pihak pemotong kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 industri Manufaktur mendapatkan arus kas yang lebih lancar karena terjadi penanggungan beban PPh Pasal 21 oleh pemerintah sehingga beban perusahaan berkurang cukup signifikan dari adanya Relaksasi PPh Pasal 21. Sehingga industri manufaktur dapat melakukan produksi lebih lancar dan biaya dapat dialihkan untuk biaya lainnya yang dapat digunakan dalam produksi. Bagi pemerintah Kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah menambah defisit anggaran 2020 hingga sekitar 2,5% dari PDB atau sekitar 86 triliun. Namun, tujuan utama pemerintah membuat kebijakan relaksasi PPh Pasal 21 adalah untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan peningkatan daya beli masyarakat sehingga kondisi perekonomian Indonesia akan baik dan pertumbuhan ekonomi tetap lancar.
Referensi
Kementerian Keuangan. (2020). Tangani Dampak Corona Covid-19 ke ekonomi, Pemerintah Umumkan Stimulus Jilid 2. Jakarta. Diakses melalui https://fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-view.asp?id=2020031710304433075929 pada tanggal 24 Maret 2020 pukul 20.24
Kurniati, Dian (2020). EFEK VIRUS CORONA, Sri Mulyani: Stimulus Fiskal Jilid II Berlaku 6 bulan. Jakarta Diakses melalui https://news.ddtc.co.id/sri-mulyani- stimulus-fiskal-jilid-ii-berlaku-6-bulan — 19490?page_y=0 pada tanggal 24 Maret 2020 pukul 21.35
Mansury, R. (2000). Hubungan Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak. Jurnal Hukum & Pembangunan, 30(3), 274–288.
Mansury, R. (1994). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia. Jakarta: Bina Rena Pariwara
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto.(2012).Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Redaksi.DDTCNews. (2020). PPh Karyawan yang ditanggung pemerintah fokus untuk sektor Industri. Jakarta. Diakses melalui https://news.ddtc.co.id/mobile/pph- karyawan-yang-ditanggung-pemerintah-fokus-untuk-sektor-industri- 19499?page_y=3249 pada tanggal 24 Maret 2020 diakses pukul 20.11
Watung, L. R. (2016). Analisis Penerapan Pajak dengan Withholding Tax System Terhadap Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 pada PT. Bank Sulutgo di Kota Manado. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi, 4(1).
WHO. (2020). Coronavirus. Diakses melalui https://www.who.int/health-topics/coronavirus#tab=tab_1 pada tanggal 24 Maret 2020 pukul 21.00