Vol.19 | Regulasi Biaya Jabatan pada Penghitungan PPh 21, Sudah Relevankah?
Jakat Kerani, Fathi Khairi, Darren Shevchenko
11 November 2023
0
Latar Belakang
Biaya jabatan merupakan salah satu komponen biaya pengurang penghasilan bruto atau deductions dalam konteks penghitungan PPh 21 atas penghasilan pegawai tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 2021. Dengan menjadi komponen biaya pengurang, penetapan besaran biaya jabatan berdampak langsung pada Penghasilan Kena Pajak yang akan menjadi dasar pengenaan PPh 21. Dalam menghitung biaya jabatan, Indonesia menetapkan besaran dan batas maksimum melalui Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 yaitu sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, dengan batas maksimum setinggi-tingginya Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan. Lebih lanjut dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 menjelaskan biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M) yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
Penetapan besaran dan batas maksimum biaya jabatan hanya berdasarkan asumsi pemerintah terhadap pengeluaran pegawai sehubungan dengan pekerjaannya di tahun peraturan tersebut dibuat yaitu tahun 2008, dan belum ada pertimbangan kembali atas substansi biaya jabatan sebagai biaya 3M yang tercantum dalam PER-16/PJ/2016. Lantas, apakah regulasi biaya jabatan yang diterapkan di Indonesia sekarang ini sudah relevan dengan definisi biaya jabatan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan? Apakah penetapan besaran dan batas maksimum biaya jabatan sudah merepresentasi angka biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh pegawai tetap atau ada pertimbangan lain?
Isi
Sejatinya, biaya jabatan merupakan jumlah pengeluaran seorang pegawai tetap dalam mendapatkan atau memperoleh penghasilan dari hubungan pekerjaannya. Sebagai contoh, pengeluaran dalam hal transportasi ke kantor, edukasi pelatihan dan sertifikasi yang berhubungan dengan pekerjaannya, pakaian dan aksesori yang harus digunakan dalam pekerjaannya, alat-alat khusus berupa software dan internet yang digunakan dalam pekerjaannya, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan. Konsep penghitungan biaya jabatan terbagi menjadi dua yaitu standardized dan itemized (Thuronyi, 1998). Konsep standardized diterapkan dengan flat deduction atau dalam artian semua pegawai memiliki besaran tarif yang sama dalam menghitung biaya jabatan. Konsep itemized dalam artian biaya jabatan ditentukan sesuai dengan jenis dan jumlah pengeluaran masing-masing pegawai.
Lebih lanjut, konsep itemized mewajibkan pegawai untuk mencatat dan memiliki bukti atau dokumentasi dari setiap transaksi pengeluaran pegawai sebagai syarat untuk dimasukkan dalam penghitungan biaya jabatan. Jika merujuk pada konsep biaya jabatan sebagai biaya 3M, maka konsep itemized dapat menjadi persoalan dalam membedakan jenis pengeluaran yang berhubungan dengan pekerjaan dan pengeluaran yang bersifat konsumsi pribadi. Dua hal tersebut dapat menimbulkan beban administrasi yang cukup besar bagi pemberi kerja (employer) dan menimbulkan potensi dispute dalam konteks PPh 21.
Setelah mengetahui bahwa konsep biaya jabatan terbagi menjadi standardized dan itemized, Indonesia juga menerapkan salah satu dari kedua konsep tersebut.Dalam PMK 250/2008 memperbolehkan adanya biaya jabatan sebagai deductions adalah sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, hal tersebut menandakan bahwa Indonesia menerapkan konsep standardized dalam pengenaan biaya jabatan. Tidak cukup sampai disitu, Indonesia menerapkan customized dalam melengkapi konsep standardized yang dibuktikan dengan adanya batas maksimum untuk pegawai dimana biaya jabatan hanya diperbolehkan maksimal 500 ribu rupiah per bulan atau 6 juta rupiah per tahun. Penerapan konsep customized standardized yang dipilih oleh Indonesia dalam menerapkan biaya jabatan merupakan hal yang umum digunakan oleh negara berkembang. Konsep customized standardized dinilai mampu memenuhi asas (kemudahan) simplification dan penerimaan negara (revenue productivity) perpajakan, dengan adanya batas tersebut seseorang tidak harus merincikan apa saja pengeluaran yang dapat diklaim untuk pengurang penghasilan bruto, hal ini berdampak pada kemudahan dalam administrasi PPh 21 atas pegawai, selain itu dengan adanya batas maksimal deductions yang diperbolehkan berarti penghasilan bruto pegawai tidak akan berkurang signifikan, hal inilah yang akan berdampak pada besaran PPh 21 yang masuk ke kas negara tetap terjaga.
Penerapan konsep customized standardized dalam biaya jabatan memang telah memenuhi dua asas perpajakan, namun sangat jauh dari salah satu asas perpajakan lainnya yaitu asas keadilan (equity). Besaran tarif lima persen yang sebagai deductions tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya bagi masing-masing pegawai. Misalnya saja biaya yang dikeluarkan oleh seorang eksekutif di ibukota sudah pasti lebih besar dibandingkan pengeluaran seorang eksekutif di kota kecil. Ditambah lagi terdapat batasan sebesar 500 ribu rupiah per bulan, besaran tersebut tidak mewakili kondisi yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, salah satu contohnya adalah biaya transportasi. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pegawai untuk bekerja dengan transportasi pribadi sepeda motor di kota-kota metropolitan mencapai 1,1 juta rupiah dan 3,8 juta rupiah untuk mobil tiap bulannya. Ketidaksesuaian tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan konsep itemized dalam menerapkan biaya jabatan.
Penerapan konsep itemized memberikan antara kesesuaian biaya jabatan dengan yang dikeluarkan pegawai. Istilah itemized tersebut diartikan pegawai memberikan rincian jumlah dari setiap jenis pengeluaran masing-masing yang terkait pekerjaan. Setiap item secara terpisah harus dituliskan oleh wajib pajak ketika menyampaikan SPT (Gravelle dan Lowry, 2014). Contoh dari negara yang menerapkan konsep itemized adalah Australia. Kantor Perpajakan Australia memperbolehkan pegawai untuk mengurangkan beberapa pengeluaran sebagai biaya jabatan. Pengeluaran tersebut harus memenuhi syarat-syarat agar dapat menjadi biaya jabatan. Untuk dapat dihitung sebagai pengurang, pengeluaran menggunakan uang sendiri dan tidak dibayarkan kembali, berkaitan langsung dengan mendapatkan penghasilan, dan memiliki bukti yang tercatat atau biasanya berupa struk (Australian Tax Office, 2023). Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, apapun biaya-biaya terkait dapat menjadi pengurang.
Namun, keleluasaan dalam memasukkan biaya yang dikeluarkan tetap mempunyai batasan. Pengeluaran tertentu diatur mengenai jumlah minimum dan maksimum yang dapat dijadikan biaya jabatan dengan kondisi tertentu. Australia menentukan batas atau cap bagi biaya kesehatan, biaya pendidikan mandiri atau self-education expenditure yang juga memiliki beberapa pengecualian, dan biaya pakaian terkait pekerjaan beserta biaya pencucian. Ketentuan tersebut bermanfaat untuk mengurangi beban bagi pemerintah dari administrasi terhadap biaya bernilai rendah serta compliance cost bagi wajib pajak (Warren, 2014). Di luar hal tersebut, penentuan biaya jabatan lainnya tidak terdapat pembatasan serupa sehingga masih memberikan kesempatan bagi pegawai untuk menyampaikan biaya sesuai pengeluaran terkait pekerjaan.
Penghitungan biaya jabatan masing-masing kemudian menjadi beban tersendiri bagi kesederhanaan administrasi. Batasan terhadap biaya jabatan yang dapat dihitung menimbulkan hambatan tersendiri. Penghitungan batasan secara spesifik membuat wajib pajak kebingungan dan tidak selamanya mendatangkan penerimaan lebih tinggi bagi pemerintah (Warren, 2014). Ketidakseragaman tersebut kemudian dapat mengurangi efisiensi baik bagi compliance ataupun administration cost. Mengatasi hal tersebut untuk sisi wajib pajak, Australia memiliki alat bantu bagi pegawai dalam menghitung biaya jabatan. Aplikasi Australian Taxation Office (ATO) menjadi sarana mengintegrasikan data-data terkait pencatatan biaya jabatan. Wajib pajak dapat menggunakan fitur mydeductions dalam aplikasi tersebut untuk membantu menjaga catatan atas work-related expenses atau biaya jabatan dan general expenses, kemudian dapat diunggah atau dibagikan dengan tax agent untuk membantu pengisian SPT (Australian Tax Office, 2023). Penghitungan biaya jabatan itemized tersebut dapat lebih terbantu melalui integrasi data dan adanya aplikasi tersendiri dari otoritas pajak. Bantuan dari sistem tersebut dapat menjadi pembawa kesederhanaan bagi administrasi pajak dalam hal itemized deductions.
Tingkat administrasi dan kesiapan sistem perpajakan suatu negara menjadi salah satu pertimbangan dalam menerapkan konsep biaya jabatan. Konsep itemized memang lebih cocok digunakan untuk negara dengan administrasi perpajakan yang terstruktur dan baik, karena dibutuhkan sistem terintegrasi serta kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi agar pendapatan negara tidak tergerus karena mempertimbangkan asas equity. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia yang tergolong rendah dibuktikan dengan perbandingan penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada pada level 10% jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju yang berada pada level 40%, mengisyaratkan bahwa penerapan konsep standardized memang lebih cocok ketimbang itemized. Menurut Thuronyi (1998), administrasi pajak di negara berkembang dan negara transisi masih tidak memiliki sarana untuk memproses dan menilai pengembalian pajak dalam jumlah besar.
Kesimpulan
Penerapan Indonesia dalam menghitung biaya jabatan yang menggunakan customized standardized deduction mengutamakan kemudahan administrasi. Standarisasi biaya jabatan yang diterapkan tersebut menjadi hal umum bagi negara berkembang dalam menghitung pengeluaran dari kegiatan mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan. Beriringan dengan kemudahan administrasi yang diutamakan, pegawai tidak sepenuhnya dapat menghitung pengeluaran sesuai keadaan masing-masing sehingga mengurangi asas equity bagi pegawai. Itemisasi biaya jabatan seperti dalam konsep itemized menjadi alternatif jika ingin meningkatkan equity bagi pegawai. Namun perlu diperhatikan, kesiapan sistem administrasi perpajakan Indonesia menjadi syarat menjaga kemudahan dalam menerapkan itemized deductions. Simplicity yang dapat diberikan tidak hanya bagi otoritas pajak dalam mengolah data-data biaya wajib pajak, tetapi juga membantu wajib pajak menghitung dan mengelola biaya jabatan yang tercatat.
Referensi
Warren, N. (2014, January). A politically viable strategy for limiting personal income tax deductions: The case for a global cap. In Australian Tax Forum (Vol. 29, №3, pp. 357–389).
Australian Taxation Office. (2023, April). How to claim deductions? diakses pada 29 Oktober 2023 dari https://www.ato.gov.au/individuals/income-deductions-offsets-and-records/deductions-you-can-claim/how-to-claim-deductions/
Thuronyi, V. (1998). Tax Law Design and Drafting (Vol. 2). International Monetary Fund.
Full PDF version can be accessed here