top of page

Vol.15 | Perubahan Kebijakan Pemajakan atas Natura dan/atau Kenikmatan Pasca Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Muhammad Ichwani

5 Desember 2022

0

Sudah setahun berlalu sejak diundangkannya peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kehadiran Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memperbaharui beberapa peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Tujuan dari perubahan tersebut antara lain, untuk meningkatkan keadilan kepada wajib pajak, meningkatkan potensi penerimaan pajak, dan menekan praktik penghindaran pajak oleh Wajib Pajak. Untuk mewujudkannya, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengubah kebijakan pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan.

Natura dan/atau kenikmatan berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang merupakan tambahan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Perbedaan antara natura dan kenikmatan, yaitu natura diberikan dalam bentuk barang yang menjadi milik penerima sedangkan kenikmatan diberikan dalam bentuk fasilitas atau pelayanan kepada penerimanya.

Victor Thuronyi, dalam bukunya yang berjudul Tax Law Design and Drafting menjelaskan bahwa terdapat tiga metode yang dapat diterapkan dalam pemajakan atas tunjangan dalam bentuk natura, antara lain (1) menggabungkan tunjangan ke dalam penghasilan, (2) mengenakan pajak pengganti atas manfaat dengan menolak pengurangan pengusaha atas biaya penyediaannya, dan (3) mengenakan pajak secara terpisah kepada pemberi kerja. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Indonesia menggunakan metode kedua dalam pemajakan atas natura. Namun, setelah diberlakukan undang-undang tersebut, metode pemajakan atas natura yang digunakan dalam ketentuan perpajakan Indonesia beralih menjadi metode yang pertama.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3), natura dan/atau kenikmatan dikecualikan sebagai objek pajak, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final, atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 15. Kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa natura dan/atau kenikmatan tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, diberikan di daerah tertentu, dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa beban pajak atas natura dikenakan di tingkat level employer (pemberi kerja).

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang mengubah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan mengenai pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan mengalami perubahan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 huruf a mengalami perubahan sehingga natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak. Lalu, pengecualian natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d berubah menjadi, natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak, meliputi (1) makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai, (2) disediakan di daerah tertentu, (3) yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan, (4) yang bersumber atau dibiayai APBD, APBD, dan APBDes, atau (5) dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Pemberi dapat menjadikan biaya penyediaan atas natura dan/atau kenikmatan sebagai penghasilan bruto sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n. Sebagai konsekuensinya, Pasal 9 ayat (1) huruf e dihapus. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran beban pajak dari level employer (pemberi kerja) ke level employee (pegawai).

Perubahan kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh tren peningkatan pemberian imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan oleh Wajib Pajak badan. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan tarif Pajak penghasilan badan dengan tarif Pajak Penghasilan orang pribadi. Pemberian natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja kepada pegawai, biasanya tingkat direksi atau komisaris, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memungkinkan penerimanya tidak dikenakan pajak dengan tarif yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya potensi kehilangan penerimaan pajak. Selain itu, tren endorsement oleh selebriti atau influencer di media sosial turut menjadi pertimbangan dalam penentuan perubahan kebijakan ini. Oleh karena itu, natura dan/atau kenikmatan merupakan tambahan ekonomis bagi penerimanya yang pada hakikatnya mesti menjadi objek Pajak Penghasilan sebagaimana pengertian penghasilan yang menjadi objek pajak dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Saat ini pemerintah masih berusaha untuk menyusun peraturan pelaksana Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Klaster Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan Jasa Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan. Dalam rancangan peraturan pemerintah yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dijelaskan mengenai dasar penilaian natura, yaitu nilai pasar sedangkan dasar penilaian kenikmatan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemberi. Kemudian dijelaskan juga bahwa imbalan dan penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan akan dipotong dan digabung dengan bentuk uang berdasarkan ketentuan pemotongan yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2023. Bagi pemberi, perlu diperhatikan bahwa biaya pemberian natura/kenikmatan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang biaya tersebut berhubungan dengan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan).


Referensi

Asmarani, N. G. (2020). Apa itu Imbalan Natura dan Kenikmatan? news.ddtc.co.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://news.ddtc.co.id/apa-itu-imbalan-natura-dan-kenikmatan-20390

Firmansyah, R. A., & Wijaya, S. (2022). Natura dan Kenikmatan Sebelum dan Sesudah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jurnal Pajak dan Keuangan Negara, 3(2), 345–359. Diakses pada 4 November 2022, dari https://jurnal.pknstan.ac.id/index.php/pkn/article/view/1645

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: dpr.go.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K11-RJ-20210629-020319-7541.pdf

Mukarromah, A. (2021). Menilik Prospek Penerapan Fringe Benefit Tax di Indonesia. news.ddtc.co.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://news.ddtc.co.id/menilik-prospek-penerapan-fringe-benefit-tax-di-indonesia-30894

Setiawan, A. D. (2022). Begini Kisi-kisi Pajak Natura di RPP Klaster PPh, Berlaku 1 Januari 2023. belasting.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://www.belasting.id/pajak/79976/Begini-Kisi-kisi-Pajak-Natura-di-RPP-Klaster-PPh-Berlaku-1-Januari-2023/

Thuronyi, V. T. (1998). Tax Law Design and Drafting, Volume 2. International Monetary Fund.


Full PDF version can be accessed here

bottom of page