Vol.10 | Meninjau Penurunan Sanksi atas Putusan Keberatan dan Banding dari Aspek Keadilan
Shofiya Febriani
30 Oktober 2022
0
Dalam proses perpajakan, sengketa pajak bukan hal yang asing lagi. Setiap tahunnya, belasan ribu berkas diajukan atas ketidaksetujuan wajib pajak akan jumlah pajak terutang yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Keberatan, banding, dan peninjauan kembali adalah fasilitas yang dapat digunakan oleh wajib pajak guna mencari keadilan. Namun, tidak semua keberatan wajib pajak diterima. Dengan begitu, prosedur perpajakan jika wajib pajak masih tidak setuju dengan putusan keberatan saat pengajuannya ditolak atau dikabulkan sebagian adalah banding. Begitu juga seterusnya dari banding ke tahap peninjauan kembali. Dengan banyaknya kasus sengketa pajak yang terjadi, keberadaan dan penetapan sanksi menjadi penting guna mengendalikan hal ini.
Selama ini, undang-undang menerapkan sanksi yang tinggi untuk putusan keberatan dan banding yang ditolak atau dikabulkan sebagian. Masing-masing sanksi yang dikenakan adalah 50% di tingkat keberatan dan 100% di tingkat banding. Sanksi yang tinggi ini dinilai tidak memberikan keadilan bagi wajib pajak sementara sanksi yang didapatkan lawan sengketa, yakni DJP, hanya sebesar 2% per bulan (Titany, 2017). Maka dari itu, melihat permasalahan ini, pemerintah menurunkan sanksi atas putusan keberatan dan banding yang ditolak atau dikabulkan sebagian masing-masing sebesar 30% dan 60%. Penurunan ini menurut Neilmaldrin Noor, selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan bagi wajib pajak (DDTC, 2021). Namun, apakah penurunan sanksi ini akan benar-benar memberikan keadilan?
Potensi Keuntungan bagi Pihak DJP
Tujuan dari pembuatan kebijakan ini adalah untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak. Namun, hanya karena objektif dari pemerintah menyatakan demikian, tidak berarti keadilan yang sesungguhnya akan tercapai dengan instan. Rasa keadilan bagi wajib pajak, dalam hal ini terkait sanksi tidak semata-mata berbicara soal sanksi saja, tetapi berbicara soal administrasi pajak secara keseluruhan. Walaupun pemerintah memanifestasikan visi keadilan berupa penurunan sanksi, motif bagi pemerintah tidak terbatas pada hal itu semata. Sanksi memang mengalami penurunan dan sekilas penurunan yang ada terlihat sangat signifikan, tetapi bisa saja sanksi pada tahap keberatan menjadi cara bagi pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara lewat pembayaran denda. Cara ini memberikan kesan kepada wajib pajak bahwa sanksi yang dikenakan di tingkat keberatan menjadi lebih rendah sehingga bisa saja wajib pajak tidak berupaya untuk melakukan banding. Dengan begitu pemerintah akan menerima kas lebih cepat tanpa harus lanjut ke pengadilan pajak. Begitu juga di tingkat banding, secara psikologis akan ada perasaan bahwa sanksi yang dikenakan menjadi lebih ringan sehingga ada kemungkinan wajib pajak memilih untuk menerima keputusan dan tidak melakukan peninjauan kembali, meski wajib pajak masih merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan pajak. Jika hal ini yang akan terjadi dalam pengimplementasiannya, hal ini tentunya menguntungkan bagi pihak otoritas pajak, tetapi tidak bagi wajib pajak yang pada dasarnya sedang berusaha mencari keadilan.
Besaran Penurunan Sanksi
Penurunan sanksi sampai 40% bisa dikatakan cukup signifikan, tetapi hal ini menjadi tidak begitu signifikan jika melihat kembali berapa besaran sanksi pada peraturan sebelumnya. Peraturan sebelumnya menetapkan sanksi yang sangat tinggi di tahap keberatan dan banding. Masing-masing 50% dan 100% dari jumlah yang dipersengketakan dikurangi jumlah yang sudah dibayar. Penurunan sanksi di tahap banding sebesar 60% masih dianggap terlalu tinggi. Hal ini masih akan memberatkan wajib pajak yang masih harus membayar jumlah yang dipersengketakan ditambah dengan sanksi sebesar 60%. Dengan begitu, tidak terjadi efektivitas karena yang terjadi adalah penerapan hukum yang ekstrem, atau dikenal dengan ius summa injuria, yang artinya malah akan memberikan luka yang terdalam, bukannya akan meningkatkan keadilan (Oktoberina, 2008). Jika ditinjau dari hal ini, kebijakan penurunan sanksi atas putusan keberatan dan banding belum memenuhi asas keadilan.
Hakikat Sanksi dalam Sengketa Pajak
Dalam upaya pencarian keadilan, idealnya wajib pajak tidak terbebani dengan adanya sanksi berupa denda yang cukup memberatkan. Namun, UU KUP berkata sebaliknya. Wajib pajak sebagai pencari keadilan mendapatkan konsekuensi yuridis berupa denda. Idealnya upaya hukum sebagai bentuk hak wajib pajak merupakan sebuah pilihan, dimana wajib pajak bebas menentukan akan melakukan upaya hukum atau tidak dan jika wajib pajak tidak menghendaki upaya hukum seharusnya hak tidak diikuti dengan konsekuensi yuridis (Handika, 2012).
Salah satu permasalahan lain mengenai sanksi dalam sengketa pajak adalah soal kualitas penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa di tahap keberatan dikatakan belum memenuhi asas keadilan. Terdapat hambatan-hambatan, seperti beban psikologis penelaah keberatan, perbedaan pemahaman akan undang-undang perpajakan, dan adanya kebijakan menolak dari internal DJP (Sari, 2016). Dengan begitu, tidak adil rasanya menetapkan sanksi yang tinggi jika putusan keberatan tidak berkualitas. Maka dari itu, besaran sanksi atas putusan keberatan yang hanya menjadi 30% tidak akan memberikan keadilan tanpa ditunjang dengan peningkatan kualitas penyelesaian sengketa.
Dengan demikian, untuk benar-benar memberikan keadilan, idealnya tidak ada sanksi yang dijatuhkan atas proses sengketa pajak yang pada hakikatnya bagi wajib pajak merupakan cara untuk mendapatkan keadilan. Besaran sanksi atas putusan ditolak atau dikabulkan sebagian di tingkat banding pun dinilai masih tinggi. Namun, penulis berpendapat penurunan sanksi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Jika penurunan sanksi belum sepenuhnya memberikan keadilan, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana meningkatkan kualitas penyelesaian sengketa baik di tahap keberatan maupun di tahap banding.
Referensi
Handika, I. (2012). Disfungsi Peradilan Pajak Indonesia dalam Merealisasikan Keadilan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 1(3), 359–378.
Oktoberina, S. R (edt), (2008), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta,SH, Bandung: Refika Aditama
Redaksi DDTC News. (2021). Sanksi Denda Keberatan dan Banding Disepakati Turun dalam RUU HPP. https://news.ddtc.co.id/sanksi-denda-keberatan-dan-banding-disepakati-turun-dalam-ruu-hpp-3344.
Sa’adah, N. (2009). Membentuk Model Upaya Hukum Pajak Yang Sesuai Dengan Prinsip Equality (Kesamaan) Dan Equity (Keadilan). Majalah Masalah-Masalah Hukum, 38(4), 342–349.
Sari, D. P (2016). Analisis Implementasi Prinsip Keadilan Dalam Proses Penyelesaian Keberatan Pajak Pada Direktorat Jenderal Pajak. Jurnal Reformasi Administrasi, 3(1), 87–106
Titany, G. (2017). Pengenaan sanksi administrasi terhadap wajib pajak yang mengajukan upaya hukum dikaitkan dengan asas keadilan perpajakan. Skripsi. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan