top of page

Vol.1 | Mengejar Pajak Penghasilan Atas Cashback Pada Dompet Digital

Bella Novita

21 Mei 2020

0

When a snake sheds its skin it changes; when a caterpillar becomes a butterfly, it transforms

Transformasi era digital menjadi relevan dengan pernyataan di atas yang dikemukakan oleh seseorang dari Business Transformation Academy untuk menggambarkan kondisi dunia saat ini. Era digital diibaratkan seperti seekor ulat yang bertransformasi menjadi kupu-kupu. Dalam hal ini, transformasi bukan hanya sekedar berubah, melainkan mengalami perubahan bentuk, fungsi, dan sifat. Perubahan tersebut ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Era ini juga memberikan kemudahan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, salah satunya dalam bertransaksi, yang ditandai dengan munculnya berbagai platform marketplace untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Selain kemudahan bertransaksi, era ini juga membuka gerbang terhadap sistem cashless economy, dimana terdapat kegiatan ekonomi yang dilakukan tanpa menggunakan uang fisik atau tunai (Ragaventhar, 2016). Sistem pembayaran ini dapat dilakukan dengan menggunakan mobile banking, internet banking, debit card, dan yang paling fenomenal saat ini adalah penggunaan dompet digital.

Berdasarkan gambar 1.1 dapat dilihat bahwa jenis dompet digital (digital wallet) sangat beragam, diantaranya Go-Pay, Ovo, Dana, LinkAja, Jenius, dan lainnya. Hampir semua jenis dompet digital ini selalu mengalami kenaikan dan penurunan jumlah pengguna. Persaingan ini tentu saja mengindikasikan bahwa pengguna dompet digital di Indonesia cukup besar. Pasalnya, kehadiran e-wallet tersebut memang memberikan kemudahan dan kepraktisan dalam bertransaksi. Hal ini didukung dengan hasil riset dari Brilio.net bersama JakPat Mobile Survey yang mendapatkan fakta bahwa mayoritas masyarakat di Indonesia, khususnya kalangan milenial sebesar 59% kini lebih menyukai transaksi secara non tunai (marketing.co.id, 2018).

Tingginya antusiasme masyarakat juga disebabkan oleh banyaknya promo dalam transaksi dompet digital, seperti point reward, discount, dan cashback. Hal tersebut adalah bentuk strategi pemasaran untuk memikat konsumen. Co-founder dan CEO Cashbac, Mario Gaw mengatakan bahwa dari beragam jenis promo yang ditawarkan, cashback merupakan bentuk promosi yang paling menarik perhatian konsumen saat ini (kompas.com, 2018). Cashback sendiri merupakan bentuk potongan harga jual untuk konsumen yang perlakuannya di belakang. Perlakuan potongan di belakang berarti terjadi setelah pembayaran tunai ataupun down payment (untuk pembelian kredit) dan kadang disertai syarat tertentu (Lestari, 2016). Berdasarkan laporan dari Nielsen pada 2016, pemberian rewards dalam bentuk cashback menduduki peringkat teratas kebutuhan pasar untuk menarik perhatian pelanggan. Setidaknya terdapat 70,2% responden dalam satu bulan terakhir yang melakukan transaksi 1–10 kali di e-commerce karena tertarik reward cashback. Sementara 19,1% melakukan transaksi sebanyak 10–20 kali (wartakota.tribunnews.com, 2018).

Tingginya angka pengguna dompet digital berkorelasi positif terhadap tingginya jumlah penerima cashback. Menurut TechinAsia (2019), diperkirakan Gojek mengeluarkan subsidi hingga Rp15 miliar per hari, atau sekitar Rp5,1 triliun per tahun. Melihat kondisi tersebut, potensi uang yang dapat diperoleh dari fitur cashback ternyata cukup besar, baik dari merchant online ataupun e-wallet. Jika berbicara mengenai potensi penerimaan, maka akan berhubungan dengan potensi pemajakan. Di Indonesia, saat ini penghasilan yang diterima konsumen berupa cashback belum dipajaki atau dapat dikatakan belum terdapat kebijakan yang jelas mengenai cashback. Jika dikaitkan dengan konsep penghasilan, yaitu the accretion concept dari Schanz, Haig, dan Simon (SHS) dinyatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan sumber dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa (Mansury, 2002). Berdasarkan pengertian ini, maka cashback merupakan penghasilan bagi konsumen karena memperoleh tambahan kemampuan ekonomis.

Kemudian, jika dilihat dari konsep taxable-deductible berdasarkan UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), mengindikasikan bahwa apabila suatu penghasilan dapat dipajaki bagi pihak yang menerimanya, maka atas pengeluaran penghasilan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya oleh pihak yang mengeluarkannya. Dalam hal ini, cashback merupakan salah satu bentuk promosi yang merupakan biaya (deductible) bagi perusahaan-perusahaan dompet digital, karena kegiatan promosi termasuk dalam kegiatan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No 36 Tahun 2008. Maka, jika cashback menjadi biaya, seharusnya juga menjadi penghasilan yang dikenakan pajak (taxable) bagi penerimanya (konsumen).

Ketentuan mengenai cashback sebenarnya berhubungan dengan ketentuan untuk hadiah dan penghargaan yang diatur dalam PER-11/PJ/2015. Dalam pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pemotongan PPh tidak berlaku untuk hadiah langsung dalam penjualan barang/jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang/jasa. Dengan demikian, jika ditinjau berdasarkan pasal ini, maka cashback tidak dikenakan PPh. Namun, dalam hal ini terdapat dispute, yang mana tidak sesuai dengan taxable-deductible concept dan accretion concept.

Dispute kedua yang muncul adalah adanya aturan dalam SE — 24/PJ/2018 tentang perlakuan perpajakan atas imbalan yang diterima oleh pembeli sehubungan dengan kondisi tertentu. Dalam peraturan ini, cashback juga dapat diartikan sebagai imbalan bagi konsumen karena telah mencapai syarat tertentu. Hal ini diatur dalam Nomor 3 huruf a yang menyatakan bahwa penjual dapat mencantumkan syarat tertentu kepada pembeli, dan ketika pembeli mencapai syarat tersebut maka akan mendapatkan imbalan. Syarat tersebut diantaranya adalah 1) pembelian oleh pembeli mencapai jumlah tertentu, 2) penjualan oleh pembeli mencapai jumlah tertentu, dan/atau 3) pelunasan oleh pembeli sesuai jangka waktu tertentu. Hal ini sesuai dengan jenis cashback yang terdapat terms and conditions tertentu. Misalnya, pada sebuah merchant food, jika pembayaran menggunakan OVO akan mendapatkan cashback 50%, tetapi dengan syarat minimum pembelian Rp100.000.

Oleh sebab itu, jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya jenis cashback sendiri ada dua macam, yaitu cashback yang diterima ketika harus memenuhi syarat tertentu dan yang tidak. Sedangkan, untuk saat ini, Objek Pajak atas cashback masih berada dalam grey area. Jika ingin menyelaraskan dengan konsep penghasilan, maka sudah seharusnya cashback dikenakan PPh, mengingat potensi yang diterima pemerintah juga besar. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi penipuan atas transaksi fiktif, seperti yang menimpa situs jual beli online Bukalapak pada 2018 silam.

Berangkat dari hal ini, maka perlu diatur jenis PPh dan sistem pemungutan atas cashback. Konsep schedular taxation merupakan konsep yang tepat untuk diterapkan, yaitu setiap penghasilan dikenakan pajak secara final dengan tarif tertentu. Dalam sistem ini, penghasilan akan langsung dipotong oleh pihak pemberi penghasilan melalui withholding tax (WHT) dengan memotong jumlah persentase tertentu dari pembayaran untuk diteruskan ke kas negara (Rosidana, 2014). Dengan begitu, maka penyelenggaralah (perusahaan dompet digital) yang bertanggung jawab terhadap kewajiban perpajakan atas cashback, mulai dari memotong, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. WHT paling cocok diterapkan karena sesuai dengan asas ease of administration, yaitu simplicity dalam pemungutan pajak. Selain itu, jika konsumen yang diwajibkan untuk melaporkan kewajiban perpajakan atas cashback, maka hal tersebut akan lebih sulit direalisasikan, mengingat tidak semua pengguna aplikasi dompet digital merupakan Wajib Pajak dan sudah memiliki NPWP. Hal ini juga akan bertentangan dengan asas convenience, yang tidak memberikan kemudahan terhadap Wajib Pajak, karena diharuskan untuk mencatat secara rinci penghasilan yang diterima atas setiap transaksi cashback.

Untuk menerapkan WHT system atas transaksi cashback juga terdapat kendala yang dihadapi pemerintah dan perusahaan, yaitu belum adanya automatic system pada aplikasi dompet digital yang memotong sejumlah uang untuk dipajaki. Jika sudah ada sistem ini, maka jumlah pajak tidak dapat dimanipulasi dan bisa mengurangi ketidakpatuhan Wajib Pajak. Kendala lainnya ketika diterapkan automatic system adalah pemerintah juga perlu meningkatkan law enforcement terhadap jenis transaksi ini.

Oleh sebab itu, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah mengkaji ulang jenis-jenis cashback dan bagaimana sistem pemungutan perpajakan yang seharusnya dilakukan. Setelah itu, maka pemerintah dapat membuat kebijakan yang tegas mengenai kegiatan cashback. Hal ini bertujuan agar tidak adanya kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam perpajakan digital, terkhusus atas cashback. Mengingat, salah satu asas dalam pemungutan pajak adalah asas certainty, yaitu memberikan kepastian kepada Wajib Pajak.


Disclaimer : Artikel ini telah berhasil meraih Juara Pertama pada Lomba INTPOS (Indonesia Tax Policy Symposium) 2019


Referensi

Admar, Jamal. (2019). Mengadopsi Pajak Pelindung Cashback? DDTC News. https://news.ddtc.co.id/mengadopsi-pajak-pelindung-cashback-17270?page_y=0. (Diakses pada 9 November 2019).

Hadya Jayani, Dwi. (2019). Inilah Daftar Dompet Digital Terbesar di Indonesia. Katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/23/inilah-daftar-dompet-digital-terbesar-di-indonesia. (Diakses pada 7 November 2019).

Lestari, Heni Puji, dkk. (2016). Analisis Peranan Cashback Dalam Upaya Meningkatkan Efektivitas Pengendalian Umur Piutang Pada Cv. Master Mat Surabaya. Jurnal: Fakultas Ekonomi Universitas Bhayangkara Surabaya.

Mansury. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta:YP4.

Marketing.co.id. (2018). Millennial Indonesia Lebih Sukai Transaksi Nontunai. https://marketing.co.id/millennial-indonesia-lebih-sukai-transaksi-nontunai/. (Diakses pada 8 November 2019).

PER-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan.

Ragaventhar, R. (2016). Cashless Economy Leads to Knowledge Economy through Knowledge Management. USA: Global Journals Inc.

Rahayu, Ning. (2018). Milenial Jadi Pendorong Transformasi Sistem Pembayaran di Indonesia. Wartaekonomi.co.id. https://www.wartaekonomi.co.id/read182038/milenial-jadi-pendorong-transformasi-sistem-pembayaran-di-indonesia.html. (Diakses pada 8 November 2019).

Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi. (2014). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Depok: RajaGrafindo Persada.

Safrudin, Niz, dkk. (2014). A Typology Of Business Transformations. Research. https://eprints.qut.edu.au/73857/1/360_Journal___11th_edition_Typology.pdf. (Diakses pada 7 November 2019).

SE-24/PJ/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Imbalan yang Diterima Oleh Pembeli Sehubungan dengan Kondisi Tertentu.

Syahputera. Ridzki. (2019). Bagaimana Perang Subsidi OVO dan GO-PAY di Indonesia Bisa Berakhir. https://id.techinasia.com/akhir-perang-subsidi-ovo-go-pay. (Diakses pada 9 November 2019).

Tashandra, Nabilla. (2018). Kaum Urban Milenial Senang Berburu Promo Saat Belanja. Kompas.com. https://lifestyle.kompas.com/read/2018/04/18/211300320/kaum-urban-milenial-senang-berburu-promo-saat-belanja?page=all.(Diakses pada 9 November 2019).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan.


Full PDF version can be accessed here

bottom of page